Sudah 3 hari ini Aji
merasakan galau yang luar biasa. Ia yang perlente, dengan sedan kinclong hasil
kredit yang masih jauh dari lunas, juga berbagai benda bermerk yang ia kenakan
dari kepala sampai kaki, adalah bukti bahwa Aji merupakan pegawai dengan pendapatan
yang mapan. Tapi..sama seperti jutaan pekerja kelas menengah negeri ini, Aji tidak
luput dari perasaan ketar-ketir manakala beredar gosip di kantornya bahwa akan
terjadi perombakan besar-besaran pada struktur kepegawaian, dan departemen yang
akan mengalami rombakan terbanyak adalah departemen tempat aji bekerja. Puluhan
angka-angka berseliweran di pikiran Aji saat ini. Beberapa diantaranya
membentuk formasi cantik. Ada yang enam digit, lima digit, dan seterusnya. Lalu
masing-masing angka tersebut saling memisahkan diri untuk bergabung dengan
angka lain dari formasi di sekitarnya. Setelah angka-angka itu, muncullah
berbagai tulisan yang mengapung kesana kemari, “Tagihan kredit mobil”, “tagihan
kredit motor”, “anggaran ke cafe”, “anggaran belanja online”, dan lain-lain.
Sudah sewajarnya jika
kemudian Ia butuh sesuatu untuk meredakan rasa kalut nya, sesuatu yang wanginya
bisa mengaburkan secuil saja pikirannya, tapi juga meninggalkan rasa halus yang
tercecap lidah, sehalus usapan punggung seorang sahabat yang menenangkan. “Malam
ini sepertinya secangkir Arabika spesial racikan Warung Cangkruk Bintang Kejora
pas buat sampeyan”, begitu kata Cak Sam. Orang ini sepertinya bisa membaca
pikiran setiap pelanggannya yang datang, pikir Aji. Cak Sam bisa dengan tepat
memberikan rekomendasi kopi yang sedang dibutuhkan pelanggan yang datang. Ia
pastilah jago sekali membaca roman muka. Cak Sam dan Warung Cangkruk Bintang
Kejora sudah menjadi tempat yang menaungi hati banyak pelanggannya. Tempat ini
lebih dari sekedar warung kopi untuk cangkruk. Beberapa jejer bangku panjang
yang terbuat dari kayu sisa pabrik telah menjadi saksi bisu atas berbagai kisah
manusia, belum lagi meja kayu tanpa taplak yang penuh dengan goresan entah dari
cutter atau apapun yang runcing, karena tulisan yang menghiasi meja itu terukir
dengan pasti, tidak akan dapat terhapus.
“Cak, sampeyan ini orang sakti ta? Kok
semua pelanggan sini percaya sekali dengan racikan kopi sampeyan? Kata mereka
tangan sampeyan ajaib”, kata Aji membuka obrolan.
“Hahahah! Saya ini hanya orang biasa
yang berasal dari desa kecil di pelosok Jember mas. Kedua orang tua saya Cuma buruh
pemetik kopi yang bahkan tidak sanggup menyekolahkan saya sampai lulus SD. Kalau
kemudian saya bisa sekolah, itu adalah murni kebaikan gusti Allah mas”, jawab
Cak Sam merendah.
“Ah, sampeyan jangan merendah gitu
tho cak. Saya sering mendengar tentang keampuhan masukan-masukan sampeyan pada
para pelanggan yang sedang punya persoalan. Sampeyan orang hebat cak”, lanjut
Aji.
“Aaah saya Cuma kebetulan punya waktu
untuk mendengarkan curhat para pelanggan saya mas. Jika seseorang sedang
dirundung persoalan, biasanya yang mereka butuhkan Cuma didengarkan. Setelah
bercerita biasanya manusia akan lega, lalu akan bisa melihat persoalan dengan
lebih baik. Barulah bisa memikirkan solusinya dengan pandangan yang lebih
terang”, Jawab Cak Sam.
“Tuh kan, belum apa-apa, sampeyan
sudah membuat saya merasa lebih tenang Cak. Pantesan Warung kopi sampeyan gak
pernah sepi cak”, lanjut Aji yang disambut gelak tawa Cak Sam.
Di tempat dengan penerangan seadanya
itu Cak Sam menyapukan pandangan pada sekelilingnya. Setiap malam, meja dan
bangku kayu Bintang Kejora dipenuhi
pelanggan. Rata-rata mereka yang datang akan bertanya pada Cak Sam, kopi
apa yang pas untuk mereka malam itu. Dan pertanyaan itu biasanya diiringi oleh
sesi curhat sejenak dari para pelanggan pada Cak Sam. Barulah Cak Sam
menentukan kopi apa yang pas untuk mereka. Lama-lama, Cak Sam ini jadi mirip
dengan psikolog, atau mm..bagi beberapa orang, Cak Sam lebih tepat disebut
paranormal. Seperti ada kutub tarik
menarik antara hati mereka dengan pikiran Cak Sam, karena apapun rekomendasi
Cak Sam, pastilah pas untuk kebutuhan pelanggannya. Juga untuk Pak Yono yang
katanya sedang masuk angin akibat ronda semalam. “Kopi Joss buat sampeyan, Pak,
dengan arang dobel biar anginnya cepat bablasss”, kata Cak Sam. “Sampeyan
pancen oye Cak”, Pak Yono menimpali lalu menyeruput kopi Joss racikan Cak Sam.
Kopi Joss racikan Cak Sam, ia lihat pertama kali di Jogja, saat Cak Sam
mengantar anaknya untuk kuliah di UGM. Kopi “ajaib” ini adalah kopi hitam biasa
yang dicelupi arang membara, konon katanya bisa langsung menyembuhkan masuk
angin. Kopi Joss inilah yang menjadi inspirasi Cak Sam untuk mendirikan Warung
Kopi. “Rondanya gak sarungan tho Pak, kok sampai masuk angin?”, tanya Cak Sam
pada Pak Yono. “Yo sarungan Cak, tapi angin tadi malam dingin sekaliiii. Se
dingin hatiku Cak”, jawab Pak Yono dengan wajah melas. Pandangan Pak Yono
menerawang pada malam lalu. Sebenarnya bukan karena ronda ia jadi masuk angin,
melainkan karena ia tidak dibukakan
pintu oleh istrinya, setelah sang istri membaca sebuah sms mesra di hp Pak
Yono. Karena murka, sang istri menyita HP dan dompet Pak Yono, dan Pak Yono
yang apes tidak boleh masuk rumah semalaman. Akibatnya ia harus tidur di pos
ronda dengan hanya menggunakan kaos oblong dan celana piyama. Keesokan paginya,
sang istri minta cerai, setelah hampir semalaman ia “berakting” menjadi Cak
Yono dan saling balas sms dengan pemilik nomor mesra itu, sampai akhirnya
pemilik nomor menelpon istri Pak Yono dan terbongkarlah semuanya. Pak Yono yang
dirundung apes kini harus merenungi nasibnya di sebuah bangku panjang Warung
Cangkruk yang lampunya temaram, di tengah kelam malam. Sekelam suasana hati
nya. “Brrttt!”, tiba-tiba terdengar bunyi yang mantap dan sangat meyakinkan
dari bangku tempat Pak Yono duduk, seakan penderitaannya belum cukup. Seketika
seluruh pelanggan Cak Sam menengok pada Pak Yono. Rupanya Kopi Joss sudah
melaksanakan tugasnya dengan baik, mengeluarkan semua angin di perut Pak Yono
yang jika dikonversi pada satuan berat maka pastilah...berat. Lengkap sudah
keapesan Pak Yono saat semua orang mesem-mesem menahan ketawa.
Di meja dekat toilet,
terdengar alunan suara sumbang seorang anak muda , diiringi petikan gitar yang
sesekali salah grip. Bersamanya, duduk beberapa anak muda lain yang kompak
menyanyikan lagu galau kekinian, yang liriknya Cuma berisi “sayang”, “cinta”,
“kamu” dan “ooooh”. Sudah dua jam mereka duduk disitu menyanyikan lagu yang
diulang-ulang bak kaset rusak. Rata-rata mereka memesan kopi hitam dengan harga
paling murah. Cukup satu gelas tiap orang, untuk konser 3 jam di Warung
Cangkruk Cak Sam. Dengan bermodalkan 2500 rupiah, mereka sudah bisa menikmati
secangkir kopi tubruk sekaligus menyalurkan minat dan bakat menyanyi. Para
mahasiswa ini sudah dikenal Cak Sam sejak mereka di Semester Pertama jurusan
MIPA di Universitas Negeri Jember. Sampai hari ini sudah enam semester yang
mereka tempuh sebagai mahasiswa dan hampir tiap hari mereka mampir ke Bintang
Kejora. Kadang membawa gitar, kadangkala membawa laptop. Tidak jarang mereka
mengerjakan tugas kuliah disana. Diselingi dengan banyolan dan gelak tawa,
kisah persahabatan mereka menjadi bagian dari sejuta kisah di Bintang Kejora.
Sambil memandangi satu
persatu pelanggannya, Cak Sam mengingat kembali tujuannya membuka Warung
Cangkruk. Ingatannya kembali pada malam itu, beberapa tahun lalu, saat ia dan
Pak Yudi, dosen S2 nya membahas tesis Cak Sam tentang budaya komunikasi ala
Cangkruk. Mereka bicara berjam-jam, ditemani bergelas-gelas kopi dan berbagai
teori komunikasi yang dilahap Cak Sam sedari ia menempuh S1. Dosennya tahu
benar betapa Cak Sam mencintai komunikasi antar manusia. Betapa Cak Sam tidak
suka berlama-lama bicara di telepon genggam, betapa ia benci fasilitas video
call dan Skype dan betapa ia sedih saat tukang becak langganannya curhat
tentang sulitnya mendapat penumpang karena manusia jaman sekarang tidak butuh
lagi bertemu muka dengan orang yang mereka inginkan. Semua bisa didapatkan dari
fasilitas seluler. Ya, mungkin Cak Sam adalah satu-satunya manusia yang benci
sekali pada telepon genggam dan teknologi komunikasi. Ia berpikir, ada banyak
sekali hal yang terdistorsi saat manusia menggunakan perangkat teknologi untuk
berkomunikasi. Ada nilai yang hilang saat manusia tak lagi berbicara langsung,
bertemu muka bertemu badan. Cak Sam sangat menikmati waktu nongkrong di warung
kopi sambil curi-curi pandang pada setiap orang yang datang, karena mereka
semua pastilah membawa kisah dan semua cerita anak manusia adalah dimensi yang sangat
menarik bagi Cak Sam.
“Kenapa kamu tidak membuat warung
kopi?”, tanya dosennya saat itu.
“Gak lah pak, modal dari mana. Wong
S2 saja dari beasiswa”, jawab Cak Sam.
“Selesaikan tesismu dan kamu akan
bisa membuat warung kopi impianmu”, lanjut Pak Yudi.
Tesis itu selesai dalam
waktu 2 bulan, dengan dukungan penuh dari dosen favorit Cak Sam sekaligus kawan
setia nyangkruk, Pak Yudi Darmais, yang ternyata adalah cucu dari Pak Omar
Darmais, seorang tuan tanah dan saudagar kopi legendaris dari Dampit, salah satu daerah penghasil kopi
terbaik di Jawa Timur.
Saat Cak Sam dinyatakan
lulus S2, Pak Yudi lah orang yang pertama kali dikabari. Di sebuah warung kopi
sederhana yang menyajikan kopi luwak dengan harga teramat miring, Cak Sam
memberitahukan kabar bahagia itu pada Pak Yudi. Tapi bukannya menyalami Cak
Sam, Pak Yudi malah melontarkan pertanyaan yang jawabannya tidak terpikirkan
oleh Cak Sam. “Sam, kamu pernah dengar kopi Amstirdam?”, tanya Pak Yudi.
“Hehehehe, sampeyan sedang mengetes
saya tho Pak Yud?, tanya Cak Sam menelisik.
“Ndaak. Kakek saya, Pak Omar Darmais
pernah bercerita tentang perkembangan kopi di Jawa Timur. Cerita yang tertua
berasal dari dampit yang menghasilkan salah satu kopi terbaik pada masa itu
yang kemudian diekspor ke Eropa oleh penjajah Hindia Belanda dan menjadi beken
seantero Eropa. Kebayang gak Sam, pada masa itu, Hindia Belanda yang berniat
mengeruk sebanyak-banyaknya hasil pertanian negeri kita tercinta ini ,
menemukan sebuah komoditi unggulan, yang membuat mereka memaksa penduduk Dampit
waktu itu untuk menanam kopi. Walaupun penduduk tidak pernah terlibat dalam
urusan tata niaga kopi, tapi pada akhirnya, kawasan dampit dan penduduknya
dikenal sebagai sentra kopi berkualitas ekspor.
Saking tingginya permintaan kopi Dampit dari penghuni Benua Eropa,
perusahaan pengekspor yang dimiliki Hindia Belanda, mengambil kopi dari daerah
lain, diantaranya Aceh dan Lampung, lalu dioplos dengan kopi Dampit kemudian
diberi label Kopi Dampit. Kopi nya ya kopi
yang kita minum sekarang ini Sam,... Robusta”, Pak Yudi bercerita dengan sangat
serius.
“Nah, salah satu kopi yang sangat
terkenal di masa itu, diberi nama Kopi Amstirdam. Bukan Amsterdam yang
dipelesetkan menjadi Amstirdam oleh lafal wong Jowo hahahaha! Melainkan
singkatan dari Ampelgading, Sumbermanjing, Tirtoyudo, Dampit.”, tawa Pak Yudi
memecahkan keheningan malam itu.
“Oalaaah, Hahahahaha!”, diikuti tawa
Cak Sam.
“Sam, aku sangat mencintai kopi dan
kamu sangat mencintai komunikasi antar manusia. Bagaimana kalau itu kita
satukan?”, tanya Pak Yudi diikuti kedua alisnya yang naik turun.
“Maksudnya sampeyan Pak?”, jawab Cak
Sam sambil menebak-nebak apa yang ada di pikiran Pak Yudi.
“Ini. Saya sudah menyiapkan ini sejak
kamu mulai intens berkonsultasi dengan saya tentang tesismu. Entah kenapa, saya
yakin kamu akan menjadi pemilik warung kopi yang di suatu masa akan begitu
dikenang oleh banyak orang.”, kata Pak Yudi.
Cak Sam agak terbelalak saat membaca
apa yang tertulis di kertas yang disodorkan Pak Yudi. Bukan kertas biasa,
melainkan selembar cek dengan nilai yang sangat besar. Sebelum Cak Sam semaput di
mejanya, Pak Yudi buru-buru melanjutkan.
“Gunakan itu untuk mengontrak tempat
selama beberapa tahun, membeli perlengkapan dan segala yang kamu butuhkan untuk
memulai sebuah warung kopi. Saya akan menjadi konsultan mu untuk segala hal
tentang kopi. Jangan anggap uang itu hutang, itu hadiah dari saya atas
kelulusanmu. Tugasmu Cuma satu, jadilah pemilik warung kopi yang bermanfaat
bagi pelangganmu dan bagilah cerita mu dan warung kopi mu dengan saya kapanpun
kita bertemu”, Mendengar perkataan Pak Yudi, Cak Sam seketika berkunang-kunang,
lalu semaput di meja nya.
Cak Sam selalu tersenyum
kapanpun mengingat kejadian itu. Motivasi itulah yang selalu menggerakkan kaki
nya dengan mantap setiap kali ia keluar rumah untuk membuka pintu warung kopi
nya. Ia selalu tidak sabar menantikan kisah-kisah manusia yang dibagikan para
pelanggannya yang mampir ke meja kasir. Dimana setiap kisah adalah sejarah
menarik yang bisa diceritakan pada anak cucu nya nanti. Dimana setiap kisah
bisa menjadi buku kompilasi nilai-nilai kehidupan yang ia yakini, akan sangat
bermanfaat bagi nya dan orang-orang yang dikenalnya
Sudah tidak diragukan lagi bahwa Warung Cangkruk Bintang
kejora telah menjadi pusat dunia Cak Sam dan meja kasir adalah menara mercusuar tempat
ia mencermati setiap raut wajah lalu menyimak setiap cerita yang terurai satu
persatu. Sampai kapanpun warung impiannya ini tidak akan bisa ditukar oleh
tawaran menjadi dosen dari universitas ternama manapun, atau tawaran menjadi
konsultan komunikasi perusahaan multinasional sekalipun. Cak Sam, Bintang Kejora dan Kopi adalah partikel yang saling menggenapi.
No comments:
Post a Comment