Friday, July 29, 2016

Secangkir Kopi, berjuta kisah





Sudah 3 hari ini Aji merasakan galau yang luar biasa. Ia yang perlente, dengan sedan kinclong hasil kredit yang masih jauh dari lunas, juga berbagai benda bermerk yang ia kenakan dari kepala sampai kaki, adalah bukti bahwa Aji merupakan pegawai dengan pendapatan yang mapan. Tapi..sama seperti jutaan pekerja kelas menengah negeri ini, Aji tidak luput dari perasaan ketar-ketir manakala beredar gosip di kantornya bahwa akan terjadi perombakan besar-besaran pada struktur kepegawaian, dan departemen yang akan mengalami rombakan terbanyak adalah departemen tempat aji bekerja. Puluhan angka-angka berseliweran di pikiran Aji saat ini. Beberapa diantaranya membentuk formasi cantik. Ada yang enam digit, lima digit, dan seterusnya. Lalu masing-masing angka tersebut saling memisahkan diri untuk bergabung dengan angka lain dari formasi di sekitarnya. Setelah angka-angka itu, muncullah berbagai tulisan yang mengapung kesana kemari, “Tagihan kredit mobil”, “tagihan kredit motor”, “anggaran ke cafe”, “anggaran belanja online”, dan lain-lain. 

Sudah sewajarnya jika kemudian Ia butuh sesuatu untuk meredakan rasa kalut nya, sesuatu yang wanginya bisa mengaburkan secuil saja pikirannya, tapi juga meninggalkan rasa halus yang tercecap lidah, sehalus usapan punggung seorang sahabat yang menenangkan. “Malam ini sepertinya secangkir Arabika spesial racikan Warung Cangkruk Bintang Kejora pas buat sampeyan”, begitu kata Cak Sam. Orang ini sepertinya bisa membaca pikiran setiap pelanggannya yang datang, pikir Aji. Cak Sam bisa dengan tepat memberikan rekomendasi kopi yang sedang dibutuhkan pelanggan yang datang. Ia pastilah jago sekali membaca roman muka. Cak Sam dan Warung Cangkruk Bintang Kejora sudah menjadi tempat yang menaungi hati banyak pelanggannya. Tempat ini lebih dari sekedar warung kopi untuk cangkruk. Beberapa jejer bangku panjang yang terbuat dari kayu sisa pabrik telah menjadi saksi bisu atas berbagai kisah manusia, belum lagi meja kayu tanpa taplak yang penuh dengan goresan entah dari cutter atau apapun yang runcing, karena tulisan yang menghiasi meja itu terukir dengan pasti, tidak akan dapat terhapus. 

“Cak, sampeyan ini orang sakti ta? Kok semua pelanggan sini percaya sekali dengan racikan kopi sampeyan? Kata mereka tangan sampeyan ajaib”, kata Aji membuka obrolan.
“Hahahah! Saya ini hanya orang biasa yang berasal dari desa kecil di pelosok Jember mas. Kedua orang tua saya Cuma buruh pemetik kopi yang bahkan tidak sanggup menyekolahkan saya sampai lulus SD. Kalau kemudian saya bisa sekolah, itu adalah murni kebaikan gusti Allah mas”, jawab Cak Sam merendah.
“Ah, sampeyan jangan merendah gitu tho cak. Saya sering mendengar tentang keampuhan masukan-masukan sampeyan pada para pelanggan yang sedang punya persoalan. Sampeyan orang hebat cak”, lanjut Aji.

“Aaah saya Cuma kebetulan punya waktu untuk mendengarkan curhat para pelanggan saya mas. Jika seseorang sedang dirundung persoalan, biasanya yang mereka butuhkan Cuma didengarkan. Setelah bercerita biasanya manusia akan lega, lalu akan bisa melihat persoalan dengan lebih baik. Barulah bisa memikirkan solusinya dengan pandangan yang lebih terang”, Jawab Cak Sam.

“Tuh kan, belum apa-apa, sampeyan sudah membuat saya merasa lebih tenang Cak. Pantesan Warung kopi sampeyan gak pernah sepi cak”, lanjut Aji yang disambut gelak tawa Cak Sam. 

Di tempat dengan penerangan seadanya itu Cak Sam menyapukan pandangan pada sekelilingnya. Setiap malam, meja dan bangku kayu Bintang Kejora dipenuhi  pelanggan. Rata-rata mereka yang datang akan bertanya pada Cak Sam, kopi apa yang pas untuk mereka malam itu. Dan pertanyaan itu biasanya diiringi oleh sesi curhat sejenak dari para pelanggan pada Cak Sam. Barulah Cak Sam menentukan kopi apa yang pas untuk mereka. Lama-lama, Cak Sam ini jadi mirip dengan psikolog, atau mm..bagi beberapa orang, Cak Sam lebih tepat disebut paranormal.  Seperti ada kutub tarik menarik antara hati mereka dengan pikiran Cak Sam, karena apapun rekomendasi Cak Sam, pastilah pas untuk kebutuhan pelanggannya. Juga untuk Pak Yono yang katanya sedang masuk angin akibat ronda semalam. “Kopi Joss buat sampeyan, Pak, dengan arang dobel biar anginnya cepat bablasss”, kata Cak Sam. “Sampeyan pancen oye Cak”, Pak Yono menimpali lalu menyeruput kopi Joss racikan Cak Sam. Kopi Joss racikan Cak Sam, ia lihat pertama kali di Jogja, saat Cak Sam mengantar anaknya untuk kuliah di UGM. Kopi “ajaib” ini adalah kopi hitam biasa yang dicelupi arang membara, konon katanya bisa langsung menyembuhkan masuk angin. Kopi Joss inilah yang menjadi inspirasi Cak Sam untuk mendirikan Warung Kopi. “Rondanya gak sarungan tho Pak, kok sampai masuk angin?”, tanya Cak Sam pada Pak Yono. “Yo sarungan Cak, tapi angin tadi malam dingin sekaliiii. Se dingin hatiku Cak”, jawab Pak Yono dengan wajah melas. Pandangan Pak Yono menerawang pada malam lalu. Sebenarnya bukan karena ronda ia jadi masuk angin, melainkan karena ia tidak dibukakan  pintu oleh istrinya, setelah sang istri membaca sebuah sms mesra di hp Pak Yono. Karena murka, sang istri menyita HP dan dompet Pak Yono, dan Pak Yono yang apes tidak boleh masuk rumah semalaman. Akibatnya ia harus tidur di pos ronda dengan hanya menggunakan kaos oblong dan celana piyama. Keesokan paginya, sang istri minta cerai, setelah hampir semalaman ia “berakting” menjadi Cak Yono dan saling balas sms dengan pemilik nomor mesra itu, sampai akhirnya pemilik nomor menelpon istri Pak Yono dan terbongkarlah semuanya. Pak Yono yang dirundung apes kini harus merenungi nasibnya di sebuah bangku panjang Warung Cangkruk yang lampunya temaram, di tengah kelam malam. Sekelam suasana hati nya. “Brrttt!”, tiba-tiba terdengar bunyi yang mantap dan sangat meyakinkan dari bangku tempat Pak Yono duduk, seakan penderitaannya belum cukup. Seketika seluruh pelanggan Cak Sam menengok pada Pak Yono. Rupanya Kopi Joss sudah melaksanakan tugasnya dengan baik, mengeluarkan semua angin di perut Pak Yono yang jika dikonversi pada satuan berat maka pastilah...berat. Lengkap sudah keapesan Pak Yono saat semua orang mesem-mesem menahan ketawa. 

Di meja dekat toilet, terdengar alunan suara sumbang seorang anak muda , diiringi petikan gitar yang sesekali salah grip. Bersamanya, duduk beberapa anak muda lain yang kompak menyanyikan lagu galau kekinian, yang liriknya Cuma berisi “sayang”, “cinta”, “kamu” dan “ooooh”. Sudah dua jam mereka duduk disitu menyanyikan lagu yang diulang-ulang bak kaset rusak. Rata-rata mereka memesan kopi hitam dengan harga paling murah. Cukup satu gelas tiap orang, untuk konser 3 jam di Warung Cangkruk Cak Sam. Dengan bermodalkan 2500 rupiah, mereka sudah bisa menikmati secangkir kopi tubruk sekaligus menyalurkan minat dan bakat menyanyi. Para mahasiswa ini sudah dikenal Cak Sam sejak mereka di Semester Pertama jurusan MIPA di Universitas Negeri Jember. Sampai hari ini sudah enam semester yang mereka tempuh sebagai mahasiswa dan hampir tiap hari mereka mampir ke Bintang Kejora. Kadang membawa gitar, kadangkala membawa laptop. Tidak jarang mereka mengerjakan tugas kuliah disana. Diselingi dengan banyolan dan gelak tawa, kisah persahabatan mereka menjadi bagian dari sejuta kisah di Bintang Kejora. 

Sambil memandangi satu persatu pelanggannya, Cak Sam mengingat kembali tujuannya membuka Warung Cangkruk. Ingatannya kembali pada malam itu, beberapa tahun lalu, saat ia dan Pak Yudi, dosen S2 nya membahas tesis Cak Sam tentang budaya komunikasi ala Cangkruk. Mereka bicara berjam-jam, ditemani bergelas-gelas kopi dan berbagai teori komunikasi yang dilahap Cak Sam sedari ia menempuh S1. Dosennya tahu benar betapa Cak Sam mencintai komunikasi antar manusia. Betapa Cak Sam tidak suka berlama-lama bicara di telepon genggam, betapa ia benci fasilitas video call dan Skype dan betapa ia sedih saat tukang becak langganannya curhat tentang sulitnya mendapat penumpang karena manusia jaman sekarang tidak butuh lagi bertemu muka dengan orang yang mereka inginkan. Semua bisa didapatkan dari fasilitas seluler. Ya, mungkin Cak Sam adalah satu-satunya manusia yang benci sekali pada telepon genggam dan teknologi komunikasi. Ia berpikir, ada banyak sekali hal yang terdistorsi saat manusia menggunakan perangkat teknologi untuk berkomunikasi. Ada nilai yang hilang saat manusia tak lagi berbicara langsung, bertemu muka bertemu badan. Cak Sam sangat menikmati waktu nongkrong di warung kopi sambil curi-curi pandang pada setiap orang yang datang, karena mereka semua pastilah membawa kisah dan semua cerita anak manusia adalah dimensi yang sangat menarik bagi Cak Sam. 

“Kenapa kamu tidak membuat warung kopi?”, tanya dosennya saat itu. 

“Gak lah pak, modal dari mana. Wong S2 saja dari beasiswa”, jawab Cak Sam. 

“Selesaikan tesismu dan kamu akan bisa membuat warung kopi impianmu”, lanjut Pak Yudi.

Tesis itu selesai dalam waktu 2 bulan, dengan dukungan penuh dari dosen favorit Cak Sam sekaligus kawan setia nyangkruk, Pak Yudi Darmais, yang ternyata adalah cucu dari Pak Omar Darmais, seorang tuan tanah dan saudagar kopi legendaris  dari Dampit, salah satu daerah penghasil kopi terbaik di Jawa Timur. 

Saat Cak Sam dinyatakan lulus S2, Pak Yudi lah orang yang pertama kali dikabari. Di sebuah warung kopi sederhana yang menyajikan kopi luwak dengan harga teramat miring, Cak Sam memberitahukan kabar bahagia itu pada Pak Yudi. Tapi bukannya menyalami Cak Sam, Pak Yudi malah melontarkan pertanyaan yang jawabannya tidak terpikirkan oleh Cak Sam. “Sam, kamu pernah dengar kopi Amstirdam?”, tanya Pak Yudi. 

“Hehehehe, sampeyan sedang mengetes saya tho Pak Yud?, tanya Cak Sam menelisik. 

“Ndaak. Kakek saya, Pak Omar Darmais pernah bercerita tentang perkembangan kopi di Jawa Timur. Cerita yang tertua berasal dari dampit yang menghasilkan salah satu kopi terbaik pada masa itu yang kemudian diekspor ke Eropa oleh penjajah Hindia Belanda dan menjadi beken seantero Eropa. Kebayang gak Sam, pada masa itu, Hindia Belanda yang berniat mengeruk sebanyak-banyaknya hasil pertanian negeri kita tercinta ini , menemukan sebuah komoditi unggulan, yang membuat mereka memaksa penduduk Dampit waktu itu untuk menanam kopi. Walaupun penduduk tidak pernah terlibat dalam urusan tata niaga kopi, tapi pada akhirnya, kawasan dampit dan penduduknya dikenal sebagai sentra kopi berkualitas ekspor.  Saking tingginya permintaan kopi Dampit dari penghuni Benua Eropa, perusahaan pengekspor yang dimiliki Hindia Belanda, mengambil kopi dari daerah lain, diantaranya Aceh dan Lampung, lalu dioplos dengan kopi Dampit kemudian diberi label Kopi Dampit.  Kopi nya ya kopi yang kita minum sekarang ini Sam,... Robusta”, Pak Yudi bercerita dengan sangat serius. 

“Nah, salah satu kopi yang sangat terkenal di masa itu, diberi nama Kopi Amstirdam. Bukan Amsterdam yang dipelesetkan menjadi Amstirdam oleh lafal wong Jowo hahahaha! Melainkan singkatan dari Ampelgading, Sumbermanjing, Tirtoyudo, Dampit.”, tawa Pak Yudi memecahkan keheningan malam itu.

“Oalaaah, Hahahahaha!”, diikuti tawa Cak  Sam.

“Sam, aku sangat mencintai kopi dan kamu sangat mencintai komunikasi antar manusia. Bagaimana kalau itu kita satukan?”, tanya Pak Yudi diikuti kedua alisnya yang naik turun.

“Maksudnya sampeyan Pak?”, jawab Cak Sam sambil menebak-nebak apa yang ada di pikiran Pak Yudi. 

“Ini. Saya sudah menyiapkan ini sejak kamu mulai intens berkonsultasi dengan saya tentang tesismu. Entah kenapa, saya yakin kamu akan menjadi pemilik warung kopi yang di suatu masa akan begitu dikenang oleh banyak orang.”, kata Pak Yudi.

Cak Sam agak terbelalak saat membaca apa yang tertulis di kertas yang disodorkan Pak Yudi. Bukan kertas biasa, melainkan selembar cek dengan nilai yang sangat besar. Sebelum Cak Sam semaput di mejanya, Pak Yudi buru-buru melanjutkan.

“Gunakan itu untuk mengontrak tempat selama beberapa tahun, membeli perlengkapan dan segala yang kamu butuhkan untuk memulai sebuah warung kopi. Saya akan menjadi konsultan mu untuk segala hal tentang kopi. Jangan anggap uang itu hutang, itu hadiah dari saya atas kelulusanmu. Tugasmu Cuma satu, jadilah pemilik warung kopi yang bermanfaat bagi pelangganmu dan bagilah cerita mu dan warung kopi mu dengan saya kapanpun kita bertemu”, Mendengar perkataan Pak Yudi, Cak Sam seketika berkunang-kunang, lalu semaput di meja nya. 

Cak Sam selalu tersenyum kapanpun mengingat kejadian itu. Motivasi itulah yang selalu menggerakkan kaki nya dengan mantap setiap kali ia keluar rumah untuk membuka pintu warung kopi nya. Ia selalu tidak sabar menantikan kisah-kisah manusia yang dibagikan para pelanggannya yang mampir ke meja kasir. Dimana setiap kisah adalah sejarah menarik yang bisa diceritakan pada anak cucu nya nanti. Dimana setiap kisah bisa menjadi buku kompilasi nilai-nilai kehidupan yang ia yakini, akan sangat bermanfaat bagi nya dan orang-orang yang dikenalnya

Sudah tidak diragukan lagi bahwa Warung Cangkruk Bintang kejora telah menjadi pusat dunia Cak Sam dan meja kasir adalah menara mercusuar tempat ia mencermati setiap raut wajah lalu menyimak setiap cerita yang terurai satu persatu. Sampai kapanpun warung impiannya ini tidak akan bisa ditukar oleh tawaran menjadi dosen dari universitas ternama manapun, atau tawaran menjadi konsultan komunikasi perusahaan multinasional sekalipun. Cak Sam, Bintang Kejora dan Kopi adalah partikel yang saling menggenapi. 


No comments:

Post a Comment